A.
Sejarah
Awal
Diphteria atau yang lebih dikenal dengan difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh
bakteri penghasil racun Corynebacterium diphtheriae. Lebih sering menyerang
anak-anak. Bakteri ini biasanya menyerang saluran pernafasan, terutama laring,
amandel dan tenggorokan. Tetapi tak jarang racun juga menyerang kulit dan
bahkan menyebabkan kerusakan saraf dan jantung.
Gejala difteri pertamakali dilaporkan oleh Hippocrates pada
abad 5 Sm. Menurut sejarah, difteri merupakan penyebab kematian anak yang
terbanyak. Kuman difteri diidentifikasi pertama kali oleh F. Loeffler, dan
antitoksin untuk penanggulangan gejala difteri ditemukan dan dibuat pada
sekitar tahun 1890. Menurut laporan World Health Organization (WHO) tercatat lebih
dari 157.000 kasus dan 5.000 kematian karena difteri.
Difteri mengambil nama dari kulit
diphtera arti kata Yunani dan diberi nama pada tahun 1826 oleh dokter Prancis
Pierre Bretonneau. Hal ini karena mengacu pada membran, kasar selubung seperti
yang tumbuh di tenggorokan, amandel dan di hidung. Hal ini sebelumnya dianggap
sebagai salah satu penyakit yang paling ditakuti, dengan sering skala besar
wabah di koloni-koloni New England antara 1735 dan 1740. Dikatakan bahwa
penyakit itu menewaskan sebanyak 80% anak di bawah 10 tahun.
Statistik menunjukkan bahwa pada
tahun 1920 ada sekitar 100.000 sampai 200.000 diperkirakan kasus difteri per
tahun di Amerika Serikat, dengan 13.000 hingga 15.000.
Gejala
diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak tak jarang
diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakan kelenjar
getah bening di leher sering terjadi. Biasanya bakteri berkembangbiak pada atau
di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan
peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa
menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan
sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.
Bakteri ini ditularkan
melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang
telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri
melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa
menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.
Toksin biasanya
menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan. Penderita mengalami
kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu ketiga
sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai,
sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung
(miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggu pertama sampai minggu
keenam, bersifat ringan. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan
gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung
secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat
kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit.
Pada serangan difteri
berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang terdiri dari sel
darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian
tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika
membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya akan berdarah.
Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa
terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga anak mengalami kesulitan
bernafas.
Berdasarkan gejala dan
ditemukannya membran inilah diagnosis ditegakkan. Tak jarang dilakukan
pemeriksaan terhadap lendir di tenggorokan dan dibuat biakan di laboratorium.
Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi akibat penyakit ini
dilakukan pemeriksaan dengan EKG. Komplikasi yang terjadi antara lain kerusakan
jantung, yang bisa berlanjut menjadi gagal jantung. Kerusakan sistem saraf
berupa kelumpuhan saraf penyebab gerakan tak terkoordinasi. Kerusakan saraf
bahkan bisa berakibat kelumpuhan, dan kerusakan ginjal.
B.
Pencegahan & Pengobatan
Setiap orang dapat terinfeksi oleh difteri,tetapi kerentanan
terhadap infeksi tergantung dari pernah tidaknya ia terinfeksi oleh difteri dan
juga pada kekebalannya. Bayi yang dilahirkan
oleh ibu yang kebal akan mendapat kekebalan pasif, tetapi tak akan lebih dari 6 bulan dan pada
umur 1 tahun kekebalannya habis sama sekali. Seseorang yang
sembuh
dari penyakit
difteri tidak selalu mempunyai kekebalan abadi. Paling baik
adalah kekebalan yang didapat secara aktif dengan imunisasi.
Berdasarkan penelitian Basuki Kartono bahwa anak dengan status
imunisasi DPT dan DT yang tidak lengkap beresiko menderita difteri 46.403 kali
lebih besar daripada anak
yang status imunisasi DPT dan
DT lengkap. Keberadaan sumberpenularan beresiko penularan
difteri 20.821 kali lebih besar daripada tidak adasumber penularan. Anak dengan ibu yang bepengetahuan rendah tentang imunisasi
dan difteri beresiko difteri pada anak-anak mereka sebanyak 9.826 kali dibandingkan dengan ibu yang mempunyai pengetahuan
tinggi tentang imunisasi dan difteri. Status imunisasi DPT dan DT anak
adalah faktor yang paling dominandalam mempengaruhi terjadinya difteri.
Pencegahan paling efektif adalah dengan
imunisasi bersamaan dengan tetanus danpertusis (DPT)
sebanyak tiga kali sejak bayi berumur dua bulan dengan selang penyuntikan satu –
dua bulan. Pemberian imunisasi ini akan memberikan kekebalan aktif terhadap
penyakit difteri, pertusis dan tetanus dalam waktu bersamaan. Efek samping yang mungkin akan timbul adalah demam, nyeri dan
bengkak pada permukaan kulit, cara mengatasinya cukup diberikan obat
penurun panas. Berdasarkan program dari Departemen Kesehatan RI imunisasi perlu
diulang pada
saat
usia sekolah dasar yaitu bersamaan dengan tetanus yaitu DTsebanyak 1 kali.
Sayangnya kekebalan hanya diiperoleh selama 10 tahun setelah imunisasi,
sehingga orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10
tahun sekali.Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan
sistem kekebalan mereka atau mereka yang terinfeksi HIV diberikan imunisasi
dengan vaksin difteria dengan jadwal yang sama.
Selain pemberian imunisasi perlu juga diberikan penyuluhan
kepada masyarakat terutama kepada orang tua tentang bahaya dari difteria dan
perlunya imunisasi aktif diberikan kepada bayi dan anak-anak. Dan perlu juga untuk
menjaga kebersihan badan, pakaian dan lingkungan. Penyakit menular seperti
difteri mudah menular dalam lingkungan yang
buruk dengan tingkat sanitasi rendah.Oleh karena itulah, selain menjaga
kebersihan diri, kita juga harus menjaga kebersihan lingkungan sekitar.
Disamping itu juga perlu diperhatikan makananyang
kita konsumsi harus bersih. Jika kita harus membeli makanan di luar,pilihlah
warung yang bersih. Jika telah terserang difteri, penderita sebaiknya dirawat
dengan baik untuk mempercepat kesembuhan dan agar tidak menjadi sumber
penularan bagi yang lain. Pengobatan difteri difokuskan untuk menetralkan
toksin (racun) difteri dan untuk membunuh kuman Corynebacterium diphtheria
penyebab difteri. Setelah terserang difteri satu kali, biasanya penderita tidak
akan terserang lagi seumur hidup.
Melihat bahayanya penyakit ini maka bila
ada anak yang sakit dan ditemukan gejala diatas maka harus segera dibawa ke
dokter atau rumah sakit untuk segera mendapatkan penanganan. Pasien biasanya
akan masuk rumah sakit untuk diopname dan diisolasi dari orang lain guna
mencegah penularan. Di rumah sakitakan dilakukan pengawasan yang ketat terhadap
fungsi fungsi vital penderitauntuk mencegah terjadinya komplikasi. Mengenai
obat, penderita umumnya akan diberikan antibiotika, steroid, dan ADS (Anti
Diphteria Serum).
Perawatan umum penyakit difteri yaitu dengan melakukan
isolasi, bed rest : 2-3minggu, makanan yang
harus dikonsumsi adalah makanan lunak, mudah dicerna,protein dan kalori
cukup, kebersihan jalan nafas, pengisapan lendir.Dengan pengobatan yang cepat
dan tepat maka komplikasi yang berat dapat dihindari, namun keadaan bisa makin
buruk bila pasien dengan usia yang lebih muda, perjalanan penyakit yang lama, gizi
kurang dan pemberian anti toksin yang terlambat.Walaupun sangat berbahaya dan sulit diobati, penyakit ini sebenarnya
bisa dicegah dengan cara menghindari kontak dengan pasien difteri yang hasil
lab-nya masih positif dan imunisasi.
Pengobatan penderita difteria ini yaitu dengan pemberian Anti
Difteria Serum(ADS) 20.000 unit intra
muskuler bila membrannya hanya terbatas tonsil saja,tetapi jika membrannya
sudah meluas diberikan ADS 80.000-100.000 unit.Sebelum pemberian serum
dilakukan sensitif test.Antibiotik pilihan adalah penicilin 50.000
unit/kgBB/hari diberikan sampai 3 hari setelah panas turun. Antibiotik
alternatif lainnya adalah erythromicyn 30-40mg/KgBB/hari selama 14 hari.
Penanggulangan
melalui pemberian imunisasi DPT (Dipteri Pertusis Tetanus ) dimana vakisin DPT
adalah vaksin yang terdiri dari toxoid difteri dan tetanusyang dimurnikan serta
bakteri pertusis yang telah diinaktifkan. Imunisasi DPTdiberikan untuk
pemberian kekebalan secara simultan terhadap difteri, pertusisdan tetanus,
diberikan pertama pada bayi umur 2 bulan, dosis selanjutnyadiberikan dengan
interval paling cepat 4 (empat) minggun (1 bulan ). DPT padabayi diberikan tiga
kali yaitu DPT1, DPT2 dan DPT 3. Imunisasi lainnya yaitu DT(Dipteri Pertusis )
merupakan imunisasi ulangan yang biasanya diberikan pada anak sekolah dasa
kelas 1.(Pedoman Teknis Imunisasi Tingkat Puskesmas,2005)Seorang karier (hasil
biakan positif, tetapi tidak menunjukkan gejala) dapat menularkan difteri.