Welcome To My World

Kamis, 30 Agustus 2012

DIPHTERIA

A.   Sejarah Awal
Diphteria atau yang lebih dikenal dengan difteri adalah  suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil racun Corynebacterium diphtheriae. Lebih sering menyerang anak-anak. Bakteri ini biasanya menyerang saluran pernafasan, terutama laring, amandel dan tenggorokan. Tetapi tak jarang racun juga menyerang kulit dan bahkan menyebabkan kerusakan saraf dan jantung.
Gejala difteri pertamakali dilaporkan oleh Hippocrates pada abad 5 Sm. Menurut sejarah, difteri merupakan penyebab kematian anak yang terbanyak. Kuman difteri diidentifikasi pertama kali oleh F. Loeffler, dan antitoksin untuk penanggulangan gejala difteri ditemukan dan dibuat pada sekitar tahun 1890. Menurut laporan World Health Organization (WHO) tercatat lebih dari 157.000 kasus dan 5.000 kematian karena difteri.
Difteri mengambil nama dari kulit diphtera arti kata Yunani dan diberi nama pada tahun 1826 oleh dokter Prancis Pierre Bretonneau. Hal ini karena mengacu pada membran, kasar selubung seperti yang tumbuh di tenggorokan, amandel dan di hidung. Hal ini sebelumnya dianggap sebagai salah satu penyakit yang paling ditakuti, dengan sering skala besar wabah di koloni-koloni New England antara 1735 dan 1740. Dikatakan bahwa penyakit itu menewaskan sebanyak 80% anak di bawah 10 tahun.
Statistik menunjukkan bahwa pada tahun 1920 ada sekitar 100.000 sampai 200.000 diperkirakan kasus difteri per tahun di Amerika Serikat, dengan 13.000 hingga 15.000.
 Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak tak jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakan kelenjar getah bening di leher sering terjadi. Biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat ringan. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit.
Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga anak mengalami kesulitan bernafas.
Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah diagnosis ditegakkan. Tak jarang dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di tenggorokan dan dibuat biakan di laboratorium. Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi akibat penyakit ini dilakukan pemeriksaan dengan EKG. Komplikasi yang terjadi antara lain kerusakan jantung, yang bisa berlanjut menjadi gagal jantung. Kerusakan sistem saraf berupa kelumpuhan saraf penyebab gerakan tak terkoordinasi. Kerusakan saraf bahkan bisa berakibat kelumpuhan, dan kerusakan ginjal.
B.    Pencegahan & Pengobatan
Setiap orang dapat terinfeksi oleh difteri,tetapi kerentanan terhadap infeksi tergantung dari pernah tidaknya ia terinfeksi oleh difteri dan juga pada kekebalannya. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kebal akan mendapat kekebalan pasif, tetapi tak akan lebih dari 6 bulan dan pada umur 1 tahun kekebalannya habis sama sekali. Seseorang yang sembuh dari penyakit difteri tidak selalu mempunyai kekebalan abadi. Paling baik adalah kekebalan yang didapat secara aktif dengan imunisasi.
Berdasarkan penelitian Basuki Kartono bahwa anak dengan status imunisasi DPT dan DT yang tidak lengkap beresiko menderita difteri 46.403 kali lebih besar daripada anak yang status imunisasi DPT dan DT lengkap. Keberadaan sumberpenularan beresiko penularan difteri 20.821 kali lebih besar daripada tidak adasumber penularan. Anak dengan ibu yang bepengetahuan rendah tentang imunisasi dan difteri beresiko difteri pada anak-anak mereka sebanyak 9.826 kali dibandingkan dengan ibu yang mempunyai pengetahuan tinggi tentang imunisasi dan difteri. Status imunisasi DPT dan DT anak adalah faktor yang paling dominandalam mempengaruhi terjadinya difteri.
Pencegahan paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan tetanus danpertusis (DPT) sebanyak tiga kali sejak bayi berumur dua bulan dengan selang penyuntikan satu – dua bulan. Pemberian imunisasi ini akan memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus dalam waktu bersamaan. Efek samping yang mungkin akan timbul adalah demam, nyeri dan bengkak pada permukaan kulit, cara mengatasinya cukup diberikan obat penurun panas. Berdasarkan program dari Departemen Kesehatan RI imunisasi perlu diulang pada saat usia sekolah dasar yaitu bersamaan dengan tetanus yaitu DTsebanyak 1 kali. Sayangnya kekebalan hanya diiperoleh selama 10 tahun setelah imunisasi, sehingga orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali.Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan sistem kekebalan mereka atau mereka yang terinfeksi HIV diberikan imunisasi dengan vaksin difteria dengan jadwal yang sama.
Selain pemberian imunisasi perlu juga diberikan penyuluhan kepada masyarakat terutama kepada orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya imunisasi aktif diberikan kepada bayi dan anak-anak. Dan perlu juga untuk menjaga kebersihan badan, pakaian dan lingkungan. Penyakit menular seperti difteri mudah menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi rendah.Oleh karena itulah, selain menjaga kebersihan diri, kita juga harus menjaga kebersihan lingkungan sekitar. Disamping itu juga perlu diperhatikan makananyang kita konsumsi harus bersih. Jika kita harus membeli makanan di luar,pilihlah warung yang bersih. Jika telah terserang difteri, penderita sebaiknya dirawat dengan baik untuk mempercepat kesembuhan dan agar tidak menjadi sumber penularan bagi yang lain. Pengobatan difteri difokuskan untuk menetralkan toksin (racun) difteri dan untuk membunuh kuman Corynebacterium diphtheria penyebab difteri. Setelah terserang difteri satu kali, biasanya penderita tidak akan terserang lagi seumur hidup.
Melihat bahayanya penyakit ini maka bila ada anak yang sakit dan ditemukan gejala diatas maka harus segera dibawa ke dokter atau rumah sakit untuk segera mendapatkan penanganan. Pasien biasanya akan masuk rumah sakit untuk diopname dan diisolasi dari orang lain guna mencegah penularan. Di rumah sakitakan dilakukan pengawasan yang ketat terhadap fungsi fungsi vital penderitauntuk mencegah terjadinya komplikasi. Mengenai obat, penderita umumnya akan diberikan antibiotika, steroid, dan ADS (Anti Diphteria Serum).
Perawatan umum penyakit difteri yaitu dengan melakukan isolasi, bed rest : 2-3minggu, makanan yang harus dikonsumsi adalah makanan lunak, mudah dicerna,protein dan kalori cukup, kebersihan jalan nafas, pengisapan lendir.Dengan pengobatan yang cepat dan tepat maka komplikasi yang berat dapat dihindari, namun keadaan bisa makin buruk bila pasien dengan usia yang lebih muda, perjalanan penyakit yang lama, gizi kurang dan pemberian anti toksin yang terlambat.Walaupun sangat berbahaya dan sulit diobati, penyakit ini sebenarnya bisa dicegah dengan cara menghindari kontak dengan pasien difteri yang hasil lab-nya masih positif dan imunisasi.
Pengobatan penderita difteria ini yaitu dengan pemberian Anti Difteria Serum(ADS) 20.000 unit intra muskuler bila membrannya hanya terbatas tonsil saja,tetapi jika membrannya sudah meluas diberikan ADS 80.000-100.000 unit.Sebelum pemberian serum dilakukan sensitif test.Antibiotik pilihan adalah penicilin 50.000 unit/kgBB/hari diberikan sampai 3 hari setelah panas turun. Antibiotik alternatif lainnya adalah erythromicyn 30-40mg/KgBB/hari selama 14 hari.
Penanggulangan melalui pemberian imunisasi DPT (Dipteri Pertusis Tetanus ) dimana vakisin DPT adalah vaksin yang terdiri dari toxoid difteri dan tetanusyang dimurnikan serta bakteri pertusis yang telah diinaktifkan. Imunisasi DPTdiberikan untuk pemberian kekebalan secara simultan terhadap difteri, pertusisdan tetanus, diberikan pertama pada bayi umur 2 bulan, dosis selanjutnyadiberikan dengan interval paling cepat 4 (empat) minggun (1 bulan ). DPT padabayi diberikan tiga kali yaitu DPT1, DPT2 dan DPT 3. Imunisasi lainnya yaitu DT(Dipteri Pertusis ) merupakan imunisasi ulangan yang biasanya diberikan pada anak sekolah dasa kelas 1.(Pedoman Teknis Imunisasi Tingkat Puskesmas,2005)Seorang karier (hasil biakan positif, tetapi tidak menunjukkan gejala) dapat menularkan difteri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar